Moskow, 3 Juli 2025 — Rusia secara resmi menjadi negara pertama di dunia yang mengakui pemerintahan Taliban di Afghanistan. Pengakuan ini diumumkan secara publik setelah Kremlin menerima surat kepercayaan dari Duta Besar baru Taliban, Gul Hassan Hassan, yang mewakili “Imarah Islam Afghanistan”. Langkah ini menandai perubahan besar dalam hubungan diplomatik global pasca-kekuasaan Taliban sejak 2021.
Pengakuan resmi ini dilakukan setelah Rusia sebelumnya mencabut status Taliban dari daftar organisasi teroris pada April 2025. Keputusan tersebut diambil berdasarkan perintah langsung dari Presiden Vladimir Putin, menyusul rekomendasi dari Kementerian Luar Negeri Rusia. Dengan ini, Moskow membuka jalan bagi hubungan bilateral yang lebih erat dengan Afghanistan di bawah kepemimpinan Taliban.
Taliban menyambut pengakuan ini dengan penuh antusias. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Taliban menyatakan bahwa keputusan Rusia merupakan “langkah bersejarah” yang menunjukkan komitmen Rusia terhadap realitas politik baru di Afghanistan. Taliban juga berharap lebih banyak negara mengikuti jejak Rusia dalam menjalin hubungan formal dengan mereka.
Langkah ini memperkuat posisi Taliban di mata internasional, setelah lebih dari tiga tahun tidak mendapat pengakuan formal dari komunitas global. Sejak kembali berkuasa pada Agustus 2021, Taliban telah berusaha meyakinkan dunia bahwa mereka bisa membentuk pemerintahan yang stabil. Namun, pelanggaran terhadap hak perempuan dan pembatasan kebebasan sipil membuat sebagian besar negara masih ragu mengakui mereka secara resmi.
Rusia menyatakan bahwa pengakuan ini dilakukan untuk mendukung stabilitas regional dan memperluas kerja sama dalam bidang keamanan, perdagangan, energi, dan infrastruktur. Taliban selama ini juga telah menjalin komunikasi intensif dengan Rusia, termasuk menghadiri forum ekonomi internasional dan pembahasan proyek transportasi lintas Asia Tengah.
Secara ekonomi, Afghanistan dinilai sebagai mitra strategis yang potensial oleh Rusia. Dalam beberapa tahun terakhir, Rusia telah memasok kebutuhan pangan seperti gandum, minyak, dan gas ke Afghanistan. Dengan pengakuan ini, kedua negara diharapkan bisa meningkatkan volume perdagangan dan membuka jalur investasi baru di sektor pertanian dan energi.
Dalam aspek keamanan, Rusia menganggap Taliban sebagai kekuatan yang bisa membantu menghadapi ancaman dari kelompok ekstremis seperti ISIS-K yang telah melakukan sejumlah serangan di kawasan Asia Tengah dan bahkan di dalam wilayah Rusia. Taliban juga berjanji akan menjaga keamanan lintas batas dan mencegah penggunaan wilayah Afghanistan oleh kelompok teroris internasional.
Meski demikian, pengakuan ini tetap menuai reaksi campuran dari dunia internasional. Negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa, menyatakan keprihatinan terhadap legitimasi Taliban yang belum menunjukkan kemajuan berarti dalam perlindungan hak asasi manusia, terutama hak perempuan untuk mengakses pendidikan dan bekerja.
Para analis menilai langkah Rusia sebagai bagian dari strategi geopolitik untuk memperluas pengaruhnya di Asia Tengah dan Selatan. Dengan absennya keterlibatan aktif Barat di Afghanistan, Rusia melihat peluang untuk membangun kemitraan baru dan memperkuat posisinya sebagai kekuatan utama di kawasan tersebut.
Dengan pengakuan ini, Rusia tidak hanya membuka pintu diplomasi bagi Taliban, tetapi juga mengubah dinamika hubungan internasional yang selama ini menolak legalitas Taliban. Ke depan, negara-negara seperti Cina, Iran, Pakistan, dan beberapa negara Teluk mungkin akan mempertimbangkan langkah serupa, bergantung pada kondisi keamanan dan kebijakan internal Taliban.
Pengakuan Rusia terhadap Taliban menjadi tonggak baru dalam sejarah hubungan internasional Afghanistan. Dunia kini menanti bagaimana pemerintahan Taliban akan merespons peluang ini—apakah akan membuka diri terhadap reformasi dan kerja sama global, atau justru memperkuat rezim otoriter yang bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia universal.