Fenomena yang sedang terjadi di Aceh khususnya Aceh Utara menjadi catatan serius bagi kita semua, terutama para pemangku kebijakan daerah, termasuk Bupati Aceh Utara. Di tengah meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap lulusan dayah, ternyata muncul persoalan mendasar yang kerap luput dari perhatian: banyak alumni dayah besar yang tidak memiliki ijazah formal, sehingga terpaksa mengikuti jalur pendidikan Paket di PKBM hanya untuk mendapatkan pengakuan administratif berupa ijazah.
Padahal, mayoritas alumni dayah tersebut memiliki kapasitas keilmuan yang tidak diragukan. Mereka telah bertahun-tahun mendalami kitab kuning dan berbagai disiplin ilmu keislaman di dayah. Ketika mereka kembali ke kampung halaman, mereka dipercaya menjadi pemimpin umat: menjadi imam gampong, anggota tuha peut, pengurus masjid, hingga tokoh adat. Namun, mereka seringkali terkendala ketika harus berurusan dengan administrasi pemerintahan. semata karena tidak memiliki ijazah.
Kondisi ini tentu ironis. Di satu sisi, mereka yang menguasai ilmu agama dan memiliki integritas tinggi dipilih oleh masyarakat sebagai pemimpin moral dan spiritual. Tapi di sisi lain, sistem menuntut pengakuan formal melalui selembar ijazah. Hal ini menjadikan mereka berada dalam posisi serba salah: layak secara kapasitas, tapi terhambat secara administratif.
Sebagai pemerhati pendidikan, penulis ingin menyampaikan bahwa sesungguhnya ada solusi yang sangat relevan dan telah disediakan oleh negara melalui Kementerian Agama Republik Indonesia, yakni program muadalah. Program ini memungkinkan lembaga pendidikan dayah yang telah memenuhi syarat untuk mendapatkan pengakuan resmi tanpa harus mengubah kurikulum khas dayah. Dengan program ini, kegiatan pengajian kitab kuning tetap berjalan sebagaimana biasa, namun pada akhirnya para santri akan memperoleh ijazah Wustha (setara SMP) dan Ulya (setara SMA) yang diakui secara nasional.
Beberapa dayah besar di Aceh Utara sejatinya telah memenuhi persyaratan muadalah, baik dari segi lama pendidikan, kelengkapan kurikulum, maupun struktur kelembagaan. Namun yang menjadi persoalan adalah masih adanya sikap mempertahankan tradisi lama oleh sebagian pimpinan dayah, yang enggan untuk mengurus muadalah karena dianggap sebagai bentuk “penyeragaman” pendidikan nasional. Padahal, muadalah bukan bentuk intervensi negara terhadap substansi pendidikan dayah, melainkan pengakuan administratif atas sistem yang telah mapan.
Dalam diskusi kami bersama pengelola PKBM di Aceh Utara, fenomena ini menjadi bahan keprihatinan bersama. Banyak alumni dayah yang akhirnya mendaftar ke PKBM untuk mendapatkan ijazah Paket C, hanya agar bisa diakui sebagai warga negara yang “berpendidikan.” Sementara pada dasarnya mereka layak memperoleh ijazah muadalah tanpa perlu mengikuti lagi pendidikan luar yang tak selalu relevan dengan latar belakang keilmuan mereka.
Karena itu, penulis menyampaikan harapan besar kepada Bupati Aceh Utara agar menjadikan persoalan ini sebagai bagian dari prioritas pembangunan sumber daya manusia di kabupaten ini. Jika perlu, program pendampingan untuk proses muadalah di dayah-dayah besar bisa dimasukkan ke dalam agenda 1 tahun kerja bupati atau program strategis pengembangan pendidikan daerah. Pendampingan ini bisa dimulai dengan membentuk tim kecil dari unsur Kemenag, Dinas Pendidikan Dayah, dan para tokoh dayah yang sudah lebih dulu memahami manfaat program muadalah.
Tanpa dukungan aktif dari kepala daerah, program muadalah akan terus dipandang sebelah mata, bahkan dicurigai. Padahal, dengan pendekatan yang tepat, dialog yang terbuka, dan pendampingan yang ramah terhadap kearifan lokal dayah, kita bisa menjembatani antara nilai-nilai tradisi dengan tuntutan administratif zaman sekarang.
Akhirnya, penulis berharap agar Bupati Aceh Utara tidak menunda-nunda perhatian terhadap persoalan ini. Sebab, di balik kesederhanaan para alumni dayah itu, tersimpan potensi besar untuk membangun masyarakat Aceh Utara yang agamis, cerdas, dan berintegritas. Jangan sampai mereka terus terjebak dalam pilihan sulit antara ijazah paket atau tidak diakui sama sekali, padahal solusi muadalah telah tersedia dan sangat mungkin ditempuh, asal ada kehendak politik dan keberpihakan dari pemimpin daerah.
Penulis: Dr. Tgk. Saiful Bahri Ishak, M.A.
Dosen UNISAI Al-Aziziyah,
Pemerhati pendidikan dayah dan pendamping proses muadalah di sejumlah pesantren di Aceh dan Medan