Seanteronews.com — Para ilmuwan mengungkapkan bahwa rotasi bumi mengalami percepatan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena ini menyebabkan panjang hari menjadi sedikit lebih pendek, khususnya pada bulan Juli dan Agustus 2025. Meskipun perbedaannya hanya beberapa milidetik, dampaknya terhadap sistem penanggalan global dan teknologi berbasis waktu cukup signifikan.
Menurut data dari International Earth Rotation and Reference Systems Service (IERS), rotasi Bumi semakin tidak stabil. Setelah sebelumnya Bumi pernah mencatat hari terpendek pada 29 Juni 2022, kini ilmuwan memprediksi bahwa rekor baru kemungkinan besar akan terjadi kembali antara Juli dan Agustus 2025. Beberapa hari bahkan diperkirakan lebih pendek dari 86.400 detik (panjang hari standar).
Percepatan ini terjadi akibat perubahan dinamika internal inti Bumi, pergeseran distribusi massa dari pencairan es di kutub, hingga efek gempa bumi dan aktivitas atmosfer. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi kecepatan rotasi Bumi, meskipun dalam skala yang sangat kecil. Namun, bagi sistem navigasi dan teknologi komunikasi global, ketelitian waktu adalah hal krusial.
Salah satu konsekuensi dari fenomena ini adalah potensi diterapkannya “leap second negatif”, yaitu pengurangan satu detik dalam waktu universal (UTC). Ini akan menjadi pertama kalinya dalam sejarah, karena biasanya leap second hanya ditambahkan untuk menyelaraskan waktu atom dengan rotasi Bumi. Pengurangan waktu ini akan menjadi tantangan besar bagi sistem komputer dan jaringan global.
Para ilmuwan di Observatorium Nasional Prancis menyatakan bahwa perubahan ini memang tidak akan dirasakan oleh manusia secara langsung. Namun, efeknya akan sangat terasa pada sistem navigasi satelit seperti GPS, komunikasi telekomunikasi, hingga jaringan keuangan internasional yang bergantung pada sinkronisasi waktu dengan presisi tinggi.
Fenomena percepatan rotasi Bumi ini juga menimbulkan perhatian bagi para ahli klimatologi. Pasalnya, pergeseran massa akibat mencairnya es di Greenland dan Antartika tidak hanya mempengaruhi permukaan laut, tetapi juga distribusi berat di Bumi. Hal ini turut mempercepat perputaran planet kita layaknya skater yang menarik lengannya ke dalam agar berputar lebih cepat.
Meskipun terjadi percepatan, para ilmuwan memastikan bahwa Bumi tidak dalam bahaya. Perubahan ini merupakan bagian dari fluktuasi alami yang telah terjadi sepanjang sejarah geologis planet ini. Namun, percepatan dalam kurun waktu yang pendek tetap menjadi perhatian karena berpotensi menimbulkan gangguan teknis dalam sistem modern yang sensitif terhadap waktu.
Lembaga Antariksa NASA dan badan-badan pengamat waktu dunia terus memantau perkembangan ini. Mereka juga sedang merumuskan protokol standar jika penyesuaian waktu diperlukan, termasuk kemungkinan adopsi leap second negatif secara global. Diskusi antara badan-badan internasional akan menjadi kunci untuk menyikapi fenomena ini secara terkoordinasi.
Di Indonesia, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) turut memberikan pernyataan bahwa Indonesia akan mengikuti kebijakan internasional terkait penyesuaian waktu bila diperlukan. Masyarakat diimbau untuk tidak panik karena fenomena ini bersifat ilmiah dan telah lama dipantau oleh komunitas global.
Bagi masyarakat awam, percepatan rotasi Bumi ini tidak akan mengubah rutinitas harian secara signifikan. Namun, di balik rutinitas tersebut, sistem teknologi yang kita gunakan setiap hari—seperti internet, smartphone, dan layanan digital lainnya—harus beradaptasi dengan perubahan rotasi Bumi ini agar tetap berfungsi dengan baik.
Fenomena ini menjadi pengingat bahwa planet tempat kita tinggal terus berubah, tidak hanya dari segi cuaca dan iklim, tetapi juga dalam aspek mendasar seperti waktu. Penelitian dan pengawasan berkelanjutan terhadap dinamika Bumi sangat penting untuk memastikan bahwa perubahan ini tidak mengganggu keseimbangan kehidupan modern yang sangat bergantung pada presisi waktu.
[]