SETIAP kali kita melangkah ke sebuah gampong, kita membawa serta harapan. Harapan akan perubahan, akan kebangkitan, akan terbitnya semangat baru yang selama ini mungkin hanya tinggal bara. Kita hadir dengan seragam yang rapi, dokumen program yang tertata, dan narasi pembangunan yang menyentuh langit.
Namun sesungguhnya, apakah kita benar-benar hadir? Ataukah kehadiran kita hanya sebatas jasad yang menyampaikan pesan-pesan birokrasi tanpa ruh yang benar-benar hidup bersama masyarakat?
Pendampingan gampong hari ini, sayangnya, terlalu sering terjebak dalam rutinitas. Sekilas terlihat sibuk, namun rapuh dalam esensi. Kita datang dengan agenda yang padat, bicara panjang lebar di balai desa, mencatat kehadiran, dan pergi dengan segudang target yang telah selesai dicentang. Warga menyimak, mengangguk, kadang tersenyum, tapi tak jarang mereka tetap berdiri di titik yang sama tanpa pemahaman, tanpa partisipasi, tanpa perubahan berarti. Semua berjalan seperti formalitas yang harus ditunaikan, bukan perjumpaan tulus yang membuka pintu-pintu harapan.
Masih banyak pendamping hari ini yang memandang gampong sebagai objek kerja. Sebuah titik pada peta yang harus dilaporkan kemajuannya, bukan sebagai ruang hidup yang utuh dengan jiwa dan dinamika yang kompleks. Gampong bukanlah tempat kosong yang menunggu disulap oleh tangan luar. Ia adalah rumah yang hidup, yang menyimpan memori, luka, cita-cita, dan kekuatan yang selama ini mungkin tersembunyi karena kurang dihargai.
Pendampingan, jika kita pahami dari regulasi seperti Kepmendes No 40 Tahun 2021, bukanlah intervensi semata. Ia adalah proses panjang yang mengandalkan bimbingan, pendampingan, fasilitasi, pengarahan, dan pengorganisasian. Dalam makna yang lebih dalam, pendampingan bukan tentang “memberi jawaban,” melainkan tentang “menemani pencarian jawaban.” Ia adalah proses yang mendewasakan masyarakat gampong agar mampu berdiri di atas kakinya sendiri, bukan menggantungkan harapan pada janji yang tak kunjung ditepati.
Bayangan tentang pagi di sebuah gampong di Aceh Besar motor pendamping berdatangan, map dibuka, laptop dinyalakan, dan bahasa teknokratik mengisi udara balai menggambarkan realitas yang mengendap dalam banyak pengalaman. Warga hanya tersenyum, diam dalam keterasingan, sebab kata-kata besar seperti “pemberdayaan” dan “pengembangan kapasitas” lebih sering menjadi jargon kosong ketimbang jalan perubahan. Tak ada yang menanyakan bagaimana mereka benar-benar hidup hari itu. Tak ada waktu untuk menyentuh luka-luka kecil yang nyata, namun tersembunyi. Kita datang membawa agenda kita sendiri, bukan hati yang terbuka.
Padahal, pendampingan yang sejati harus dilandasi oleh lima prinsip utama yang bersifat universal. Pertama, prinsip kemanusiaan. Kita wajib menghormati setiap manusia di gampong sebagai subjek yang utuh, dengan harkat, martabat, dan hak untuk dihargai. Pendamping tidak boleh menjadi alat kekuasaan yang merendahkan warga demi memenuhi indikator kinerja.
Kedua, prinsip keadilan. Setiap warga harus mendapatkan perlakuan yang setara tanpa diskriminasi. Kita tidak boleh hanya bekerja untuk kelompok yang “mau diajak kerja sama,” sementara yang kritis kita abaikan. Semua warga adalah bagian dari masyarakat yang punya hak dan suara.
Ketiga, prinsip kebhinekaan. Gampong adalah mosaik dari keragaman: agama, budaya, cara pandang, dan latar belakang. Pendampingan harus hadir dengan kepekaan terhadap perbedaan, dengan sikap menghormati dan tidak memaksakan satu bentuk homogenisasi dalam program pembangunan.
Keempat, prinsip keseimbangan alam. Pendamping tidak boleh membawa pembangunan yang merusak lingkungan. Dalam setiap langkah yang kita buat, harus ada pertimbangan terhadap kelestarian alam, karena lingkungan yang rusak adalah pengkhianatan terhadap generasi mendatang.
Kelima, prinsip kepentingan nasional. Setiap program dan upaya pendampingan harus memiliki benang merah dengan cita-cita nasional: keadilan sosial, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat. Bukan hanya mengejar laporan kegiatan yang selesai, tapi membangun fondasi kokoh untuk Indonesia yang lebih kuat dari akar rumputnya.
Banyak kritik terhadap pola pendampingan hari ini yang terkesan elitis. Kita datang dengan peta jalan yang sudah jadi, tanpa membuka ruang dialog yang jujur. Kita menyodorkan solusi dari luar, tanpa memahami masalah dari dalam. Seolah-olah pendamping adalah juru selamat, padahal perubahan sejati hanya akan terjadi ketika warga menjadi penggeraknya. Pendamping seharusnya menjadi teman seperjalanan, bukan instruktur yang memerintah.
Kehadiran kita harus nyata, bukan semu. Kita harus duduk bersama di serambi, menyimak cerita warga, mendengar keluh kesah, dan menumbuhkan kembali harapan yang sempat layu. Ini bukan kerja instan, tapi sebuah proses panjang yang memerlukan empati, kehadiran, dan konsistensi. Salah satu cara kita menunjukkan keseriusan adalah melalui asistensi memberikan bantuan teknis dalam pelaksanaan tugas gampong. Tapi asistensi bukan sekadar mengoreksi laporan atau memeriksa berkas. Ia harus membantu masyarakat menyusun perencanaan berbasis data yang otentik, mendorong akurasi kebijakan yang berpihak kepada kebutuhan riil warga.
Selain itu, pengorganisasian menjadi pondasi penting dalam membentuk kekuatan kolektif. Kita bantu warga membangun jaringan sosial yang produktif, dari kelompok tani, komunitas perempuan, hingga forum anak muda. Pendamping berperan sebagai katalis yang menghubungkan satu kekuatan dengan kekuatan lainnya, hingga tumbuh kesadaran kolektif yang mampu menggerakkan perubahan dari dalam.
Pengarahan dan fasilitasi juga harus dilakukan dengan bijak dan mendalam. Pendamping menjadi penunjuk arah dalam proses pembangunan yang kompleks, mulai dari perencanaan hingga pelaporan. Kita mendampingi dalam pengelolaan keuangan desa, mendorong transparansi, serta mengawasi pelaksanaan kegiatan agar tidak sekadar menggugurkan kewajiban, melainkan benar-benar berdampak pada kehidupan masyarakat. Kita bantu warga mengelola usaha milik desa, memaksimalkan potensi ekonomi lokal, dan membangun kerja sama antar gampong agar saling menguatkan.
Namun semua itu akan sia-sia bila kita tetap terjebak pada model pendampingan yang kaku dan teknokratis. Yang menilai keberhasilan dari banyaknya laporan, bukan dari kualitas relasi yang dibangun. Warga akan tetap diam, tetap asing, dan tetap menjauh bila kehadiran kita tidak menyentuh sisi kemanusiaan mereka.
Renungkanlah, seberapa sering kita datang hanya untuk bicara? Seberapa sering kita melupakan untuk mendengar? Padahal, dalam diam yang tulus dan perhatian yang nyata, ada ruang yang terbuka bagi kepercayaan. Dan dari kepercayaan itulah perubahan bisa tumbuh, perlahan namun kokoh.
Pendampingan bukan sekadar peristiwa birokrasi. Ia adalah proses manusiawi yang memerlukan kesabaran, kejujuran, dan keikhlasan. Ia menuntut kita untuk hadir, tidak sekadar datang. Untuk mendampingi, tidak sekadar mengawasi. Untuk menjadi bagian dari gampong, tidak hanya pengunjungnya.
Jika kita hanya hadir sebagai tamu yang lewat, maka jangan pernah berharap gampong akan tumbuh. Tapi jika kita hadir dengan hati, dengan kepedulian, dan dengan ketulusan untuk berbagi kehidupan bersama warga, maka perubahan itu akan menemukan jalannya sendiri. Karena pada akhirnya, pendampingan adalah tentang manusia dan setiap manusia butuh didengar, dihargai, dan dipercaya.[]