Seanteronews.com – Warga Gaza kembali menghadapi krisis kemanusiaan yang mengerikan akibat blokade penuh yang diberlakukan Israel sejak awal Maret 2025. Akses terhadap makanan, obat-obatan, dan bahan bakar dibatasi secara drastis, menyebabkan lebih dari 900.000 warga mengalami darurat pangan dan ratusan ribu lainnya terancam kelaparan akut. Kondisi ini diperparah dengan minimnya jalur distribusi bantuan kemanusiaan yang aman dan efektif, di tengah meningkatnya kekerasan di lokasi-lokasi penyaluran bantuan.
Pada Jumat (19/7), setidaknya 36 warga Gaza tewas ketika pasukan Israel menembaki kerumunan yang tengah menunggu distribusi bantuan di Jalur Gaza utara. Insiden serupa sebelumnya telah merenggut puluhan nyawa, termasuk anak-anak, yang hanya ingin mendapatkan makanan atau air bersih. Kejadian-kejadian ini memicu kemarahan masyarakat internasional dan sorotan terhadap model distribusi bantuan yang dijalankan oleh Gaza Humanitarian Foundation (GHF), lembaga yang didukung Israel dan Amerika Serikat.
GHF menuai kritik karena dinilai bersifat militeristik dan berisiko tinggi bagi warga sipil. Lembaga kemanusiaan internasional, termasuk PBB, UNICEF, dan WFP, telah memperingatkan bahwa sistem ini tidak transparan, tidak inklusif, dan bahkan mematikan. Sejak akhir Mei 2025, lebih dari 500 orang tewas saat mencoba mengakses bantuan di titik-titik distribusi GHF. Beberapa laporan menyebut bahwa warga juga ditembaki saat berusaha mengambil air dan makanan.
Anak-anak menjadi korban paling rentan dalam krisis ini. Lebih dari 2.700 balita dilaporkan mengalami malnutrisi akut, dan sedikitnya 66 anak telah meninggal dunia akibat kelaparan dan kekurangan gizi. Kasus dua saudara berusia 9 dan 10 tahun yang tewas saat mengambil air menjadi simbol tragis dari penderitaan anak-anak Gaza. Kelaparan kini menjadi ancaman yang nyata dan sistemik, dengan banyak pihak menuduh Israel menggunakan kelaparan sebagai senjata perang.
Blokade yang sedang berlangsung juga memicu keprihatinan hukum internasional. Beberapa organisasi HAM internasional menyebut kebijakan Israel sebagai bentuk pelanggaran hukum perang dan pelanggaran hak asasi manusia. Tuduhan ini semakin menguat setelah Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mempertimbangkan untuk mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap pejabat Israel atas dugaan penggunaan kelaparan sebagai alat penindasan.
Sementara itu, tekanan terhadap Israel untuk membuka akses kemanusiaan terus meningkat. Uni Eropa telah mendesak dibukanya perbatasan Kerem Shalom secara penuh dan transparan untuk distribusi bantuan. Namun, sejauh ini, distribusi yang dikelola oleh GHF masih menjadi satu-satunya jalur besar, meskipun tidak aman dan kerap berujung pada korban jiwa. Komunitas internasional terus menyerukan agar lembaga kemanusiaan konvensional diberi akses kembali untuk menyalurkan bantuan secara adil dan aman.
Situasi ini mengundang empati luas dan meningkatkan urgensi penanganan krisis Gaza secara menyeluruh. Dengan semakin banyaknya nyawa tak berdosa yang melayang hanya demi sesuap makanan atau seteguk air, dunia dituntut untuk tidak lagi diam. Krisis kelaparan di Gaza bukan sekadar bencana kemanusiaan, melainkan cerminan dari kegagalan moral global yang harus segera diatasi.[]